Breaking News

Pluralisme Dalam Pancasila


Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari *)

Jendelakita.my.id. - Kaidah penuntutan hukum Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila merupakan instrumen dasar yang selain secara umum menuntun kepada kebaikan, juga melarang, mencegah dari mengantisipasi segala diskriminasi berdasarkan perbedaan. Hal ini didasari mengingat bangsa ini lahir dan dikonstruksi dari perbedaan atau Pluralitas yang berhasil direkat atas dasar kesamaan visi dan tujuan. Itu sebabnya, sejarah bangsa ini, sejarah kelahiran Pancasila adalah sejarah pluralisme (pluralisme lazim diberi pengertian sebagai suatu kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Pluralisme menjanjikan sebuah ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia sehingga pluralisme mestinya tak diposisi kan sebagai ancaman melainkan sebagai kekuatan dalam aktivitas berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia..

Bagaimana tidak lahirnya Pancasila adalah sejarah otentik bagaimana para pendiri negara ini menyepakati paham " jalan tengah", setelah sebelumnya terlibat dalam perdebatan yang panjang, sengit dan bermutu mempertahankan pendapatnya masing-masing.

Para pendiri bangsa akhirnya menyepakati Pancasila muncul sebagai suatu cara pandang yang lahir di tengah Pluralitas.

Oleh karena itu pula, di sinilah pentingnya kita melihat Pancasila itu mampu merekatkan Pluralitas dan kebhinekaan Indonesia menjadi kekayaan sekaligus kekuatan bangsa.

Uraian fakta historis menunjukkan bahwa bangsa ini dikonstruksi dan berdiri kokoh di atas keberagaman. Dengan kata lain, kesadaran sejak awal akan Pluralitas dan keragaman merupakan titik pijak bagi pendirian bangsa Indonesia. Kemudian secara tegas itu diadopsi oleh para founding people pada saat merumuskan UUD 45.

Terkait dengan itu maka patutlah menyebut Pancasila merupakan tonggak konvergensi atau titik temu kebhinekaan bangsa ini..

Hal ini dijumpai pada Aline III pembukaan UUD 45 yang menyatakan 

Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan   

Oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Rumusan kalimat tersebut mencerminkan berpadu nya pandangan dua arus politik Indonesia pada saat itu yakni nasionalis sekuler dan nasionalis islamiis. 

Nasionalis sekuler mendasar kan kehidupan kebangsaan yang lebih bebas, sementara nasionalis islamiis ingin melandaskan perjuangan nya atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Titik temu itu sekaligus merupakan pernyataan bahwa sekali lagi, Indonesia bukan negara sekuler tetapi bukan juga negara agama. Ini menandakan bahwa saat pembentukan negara, tidak dikehendaki negara agama, yang merepresentasikan salah satu aspirasi kelompok keagamaan karena dinilai hanya akan menuntun pada kondisi tirani akibat dominasi agama tertentu yang dipastikan akan menafikan Pluralitas kebangsaan.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan karakter Indonesia sebagai religius nation state. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Sementara dalam makna luas, bangsa ini menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan sehingga setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa boleh didiskriminasi.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu kesatuan yang dilandasi adanya kesadaran serta penghormatan atas perbedaan dan keragaman lantas belakang. Sebab dari awal sudah dipahami bahwa keragaman itulah yang menyokong penuh berdiri nya negara ini. Sila keempat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan / perwakilan. Adalah karakter dan nilai khas bangsa ini yakni kebersamaan dan mengedepankan musyawarah dalam menentukan sesuatu demi kepentingan bersama, 

Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencakup tiga bentuk keadilan, baik keadilan distributif, legal maupun komutatif 

Keadilan distributif menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa, negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang..

Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara. tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundangan undangan yang berlaku dalam negara.

Keadilan komutatif yaitu hubungan keadilan antara warga negara dengan warganegara yang lain secara timbal balik.

*) Penulis adalah Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan.