Pembuatan Konstruksi Salah Satu Cara Mengembangkan Hukum Positif
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari
Jendelakita.my.id. - Scholten dalam Anwar Saleh mengatakan bahwa pembuatan konstruksi merupakan salah satu cara mengembangkan hukum positif (baca hukum tertulis dan hukum tidak tertulis).
Untuk itu Scholten mencantumkan tiga syarat bagi pembuatan konstruksi yang baik, yaitu;
1, konstruksi harus mampu meliputi seluruh bidang hukum positif;
2, tidak boleh ada pertentangan logis di dalam nya;
3, konstruksi harus mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai sesuatu hal (lihat Satjipto Rahardjo)
Konstruksi sebagai metode penetapan hukum dilakukan dengan cara analogi dan penghalusan hukum.
Memperluas berlaku hukum dengan menggunakan analogi lebih populer di lapangan hukum perdata, sedangkan dalam ruang lingkup hukum pidana, analogi dilarang digunakan, kecuali dalam keadaan dan kasus yang khusus dan dilakukan oleh lembaga peradilan yang tertinggi saja (baca Hoge Raad- Mahkamah Agung).
Hukum pidana adalah rangkaian perintah perintah yang melarang orang untuk berbuat sesuatu dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban. Karena itu unsur kepastian hukum lebih utama dari pada nilai nilai hukum yang lain
Di dalam pidana terdapat sanksi berat yang akan dijatuhkan kepada pelanggar nya, pada umumnya sanksi ini bersifat mengurangi kebebasan seseorang, dengan demikian menyentuh hak hak asasi yang peling esensial. Di samping itu ketentuan dalam hukum pidana merupakan peraturan yang mengatur ketertiban umum, karena itu rumusan kwalifikasi perbuatan yang dilarang haruslah jelas dan tidak boleh berubah selama undang undang tidak merubah nya. Dengan demikian peraturan hukum nya harus tertulis, agar setiap orang mengetahui dengan jelas dan mengerti tentang perbuatan apa saja yang dilarang orang melakukan nya.
Berbeda dengan hukum pidana, adalah peraturan dilapangan hukum perdata yang mengatur dan melindungi kepentingan dan hak hak pribadi seseorang. Hukum perikatan umpama nya dapat bersumber kepada hukum tertulis dapat juga bersumber kepada hukum yang tidak tertulis.
Namun sebenarnya larangan menggunakan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana sudah mulai berkembang diakui keberadaanya (asas legalitas terbuka istilah Prof. Muladi- dalam salah satu karya nya saat simposium Nasional hukum pidana nasional diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Pidana, yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya)
Dan ternyata diikuti di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana 2023.
Dapat kita lihat di dalam Pasal 597 Bab XXXIV.
1, Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana;
2, Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (i) huruf f.
Yaitu pemenuhan kewajiban adat setempat
Kewajiban adat setempat dimaksud sebagaimana diatur dalam pasal 64 huruf b. Kini terbukti bahwa konstruksi hukum khususnya memperluas keberlakuan di hukum tertulis (asas legalitas tertutup; yang selama berabad abad dalam hukum pidana di larang keras.
Ternyata setelah melalui pengalaman penerapan hukum dirasakan perlu dilakukan kontruksi hukum dalam hukum pidana terbukti di Indonesia baru saja disahkan UU tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana 2023.
Melalui proses panjang sejak dicanangkan oleh para ahli hukum Indonesia hampir mencapai 60 tahun prosesnya, karena terdapat ketentuan ketentuan krusial antara lain masuknya hukum tidak tertulis dalam kitab undang undang pidana tersebut.
Sebenarnya pembolehan analogi dalam hukum pidana sudah lama disampaikan oleh ahli hukum pidana Yongker, sebagaimana dimuat dalam buku Hukum Pidana Satu karangan E. Utrecht, di saat penulis duduk pada bangku kuliah tahun pertama 1974, sudah terbaca dan di dalam beberapa putusan Hoge Raad-sudah tergambar jelas dalam beberapa kasus.
Jadi bukan lah hal yang aneh kalau pembuatan konstruksi hukum salah satu cara pengembangan hukum nasional.