Breaking News

Hutan Adat di Sumatera Selatan


Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari *)

Jendelakita.my.id. - Suatu ketika penulis (ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan - Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan periode 2019-2024), terbaca postingan tentang Kondisi Hutan adat di Indonesia.

Bahwa per September 2024 Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan 142 unit HUTAN ADAT yang tersebar di 18 propinsi dengan total 260 ribu hektare.

Kalimantan Tengah menduduki jumlah hutan adat yang telah ditetapkan Pemerintah yaitu sejumlah 68 ribu hektare, Jambi propinsi tetangga Sumatera Selatan telah berhasil membuka 29 unit dengan luas 7,2 ribu hektare.

Sedangkan kita sendiri Sumatera Selatan menduduki posisi paling sedikit yaitu baru ada 2 unit, yaitu di kabupaten Muaraenim dan kota Pagaralam. Sedangkan potensi untuk dijadikan hutan adat cukup luas.

Tentu ini menimbulkan pertanyaan, kenapa sampai demikian tertinggal dengan proporsi terdekat Jambi yang luar wilayah propinsi nya tidak seluas propinsi Sumatera Selatan.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa informasi yang dapat mendukung yaitu.

Hutan adat, secara definitif diartikan sebagai hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Hutan adat merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial sebagaimana tertuang dalam peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan nomor P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/10/2016 tentang Perhutanan sosial.


Hutan adat pertama di Sumatera Selatan adalah " Hutan adat Larangan Mude Ayek Tebat Benawe.

Hutan adat tebat benawe terletak di dusun Tebat Benawe kelurahan Penjalang Kecamatan Dempo Selatan, yang didiami 230 KK dengan 916 jiwa. Mayoritas entitas adalah keturunan dari Puyeng Kedum Samad , pendiri dusun peletak adat, salah satu keturunan suku Besemah.

Kembali untuk menjawab pertanyaan di atas yaitu minimnya hutan adat di Sumatera Selatan padahal sudah berjalan selama 2018-2024 yaitu 6 tahun, bila dibandingkan dengan propinsi terdekat Jambi.

Tentu ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Menurut analisis dan pengalaman di lapangan baik sebagai anggota PPS yg pernah terlibat di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (ketua PPS Prof. Dr. Ir. Rudjito dari UNSRI, sekitar 2018), maupun sebagai ketua pembina adat sumatera selatan pada waktu nya sekarang sebagai Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan. Beberapa kali terlibat dalam kegiatan masyarakat hukum adat khususnya masalah hutan adat antara lain:

1, sebelum disahkan nya hutan adat Tebat Benawe oleh pemerintah daerah Pagaralam, sebagai Nara sumber diskusi di kota Pagaralam bekerja sama dengan pegiat kehutanan 

2, Mengikuti sarasehan nasional mengenai perhutanan (hutan adat) di Jambi dan sempat saat itu memberikan buku berjudul Tanah Marga kepada Dirjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Dan dilanjutkan pertemuan di pulau Batam, terakhir tahun 2022 di hotel Royal Kuningan Jakarta sebagai narasumber.

Kesimpulan nya bahwa masih minimnya jumlah hutan adat di Sumatera Selatan berdasarkan analisis data adalah 

1, kurangnya informasi dan komunikasi dengan serta sosialisasi dengan dan kepada masyarakat hukum adat;

2, kurangnya dukungan aparat di daerah, 

3, karena faktor faktor tersebut lembaga swadaya masyarakat yang berada di kabupaten (kecamatan dan desa), khususnya yang membidangi untuk meningkatkan jumlah hutan adat sangat terbatas , karena koordinasi belum maksimal.