Hak Usaha Tanah Adat versus Surat Hak Milik
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Sering terjadi pertanyaan kenapa Surat Hak Milik (sertifikat), bisa dimenangkan oleh lembaga Pengadilan (baca putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia).
Contoh kasus sedang menjadi berita di media lokal. Berjudul 73 Warga resah akibat lahan yang mereka dapatkan dari developer di kawasan Talang Jambe resah. Akibat dari lahan perumahan yang mereka huni lahan nya bersengketa yang dimenangkan oleh ahli waris pemilik lahan yang ber alaskan Surat keterangan usaha tahun 1976.
Sedangkan menurut informasi dari Badan Pertanahan Nasional tanah tersebut sudah diterbitkan sertifikat hak milik di tahun 2015.
Dan sebelum sampai ke tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, kasus tersebut telah bergulir mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama, banding dan kasasi ke MA.
Terlepas dari kasus tersebut kita tidak berpretensi untuk ikut di dalam substansi materi. Tapi karena alasan bahwa kasus nya sudah final (tidak ada upaya hukum lagi), dan sudah menjadi berita publik. Maka penulis mencoba menganalisis dari teori ilmu hukum adat, terutama di dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
Karena ada pertanyaan masyarakat: apa bisa Sertifikat hak milik dapat dikalahkan oleh sekedar surat keterangan usaha saja (1976).
Kita ketahui bahwa sebelum keluar nya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 23 Maret 1983 yang mulai berlaku 1 April 1983, bahwa pemegang otonomi tunggal adalah seorang Kepala Marga (sebagai kepala pemerintahan marga- juga sebagai kepala adat).
Disebut dengan PESIRAH berwenang untuk mengeluarkan izin atau surat yang disebut surat usaha tanah untuk warganya (surat tanah adat).
Surat tersebut memiliki kekuatan sebagai Hak Milik Adat, dan terbukti setelah berlakunya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang ketentuan konversi diakui berkekuatan hukum HAK MILIK.
Dan salah satu keputusan Mahkamah Agung yang mengakui nya dapat kita lihat putusan nomor 831 K/Sip/ 1964 .
Dengan argumentasi teori dan dasar yuridis seperti yang penulis sampaikan maka terjawab sudah bahwa semua surat keterangan hak milik adat yang dikeluarkan oleh Pasirah sebelum keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan tersebut (SK 142/KPTS/III/1983). Berlaku sah sebagai hak milik pemegang.
Tentu semuanya kembali kepada kasus posisi masing masing, jadi artinya tidak dapat di globalisasi. Berlaku untuk semua kasus.
Demikian beberapa analisis penulis dari kaca mata teori ilmu hukum adat
Karena kita ketahui juga secara bersama bahwa Undang Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 berdasarkan hukum adat (Pasal 5 ).
Memang dengan perkembangan zaman pemahaman seperti itu sepertinya agak langka akibat sistem pembuktian kepemilikan baik melalui pengadilan umum ataupun pengadilan khusus sering formalitas dampak dari sistem pembuktian yang tentunya tidak terlepas dari hukum hukum pembuktian yang diajarkan di bangku kuliah masih menggunakan hukum formil peninggalan sejarah lama (baca kolonial).
Di samping itu juga ada kesan bahwa Hukum Adat hanya sebagai hukum pelengkap.
Inipun sebenarnya akibat peninggalan aturan kolonial di dalam AB, RBg, dan HIR (khusus kasus sipil).***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan