Perspektif Sejarah Instrumen HAM Masyarakat Hukum Adat
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Ditinjau dari perspektif sejarah instrumen hak asasi manusia secara umum, pengakuan yuridis terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas antropologi yang secara berlanjut mendiami wilayah yang sama secara turun temurun sesungguhnya suatu fenomena baru.
Pada tataran internasional, pengakuan yuridis ini terdapat dalam konvensi internasional ILO nomor 169 tahun 1989. Tentang Indegenous and tribal peoples in independen countries.
Sebabnya oleh karena sejak awal perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum hak asasi manusia bertolak dari asumsi bahwa manusia tersebut terdiri Individu secara perseorangan. Itulah sebabnya mengapa kata kata pertama dalam pasal pasal instrumen hak asasi manusia hampir selalu berbunyi SETIAP ORANG.
Namun sebagai mana pun juga manusia sebagai makhluk sosial zoon politicon yang dalam kehidupan nya selalu terkait secara melembaga dengan manusia lainnya, baik dalam hubungan paguyuban yang lazim disebut masyarakat hukum adat (tradisional).
Perlu kita perhatikan pada tahun 1945, visi para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia tentang negara baru yang akan dibentuk itu adalah suatu negara yang tetap memelihara semangat hubungan paguyuban antara rakyat dan pemerintah nya dan sebaliknya antara pemerintah dan rakyatnya walaupun mau tidak mau tatanan kenegaraan secara formal akan bersikap hubungan petembayan . Itulah sebabnya mengapa hampir tanpa kecuali para pendiri negara menolak dicantumkan nya pasal pasal hak asasi manusia dalam UUD 45, yang pada saat itu difahami sebagai manifestasi dari individualisme dan liberalisme yang sangat bersifat perseorangan belaka. Sayang nya visi kenegaraan yang bersifat mendasar ini tidak tercantum secara eksplisit dalam dictum Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, tetapi hanya dalam penjelasan nya sehingga bukan saja tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetapi juga tidak cukup kuat untuk dijadikan rujukan untuk membuat UU organik yang diperlukan sebagai payung untuk membuat UU organik masyarakat hukum adat.
Syukur nya pada tataran internasional kesadaran akan perlunya perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang umumnya disebut sebagai Indegenous people berlanjut terus, sebagai bagian dari keseluruhan kelompok rentan (vulnerable group) yang memerlukan perlindungan khusus, baik oleh karena perjuangan yang tidak henti hentinya dari para pegiat hak asasi manusia maupun sebagai tindak lanjut dari komitmen Perwakilan Bangsa Bangsa, seperti tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (Juni 1945) maupun dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Desember 1948).Mau tidak mau, kemajuan yang dicapai pada tataran internasional ini telah menciptakan suatu situasi yang menguntungkan bagi perlindungan hak masyarakat hukum adat ini pada tataran nasional.***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan