Masyarakat Hukum Adat Sebagai Pemohon Judicial Review
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Pasal 51 UU no 24 / 2003, tentang Mahkamah Konstitusi memberi ruang bagi masyarakat hukum adat untuk maju sebagai pemohon dalam pengujian UU.
Bagi MK ketentuan ini perlu penegasan secara empirik. Pasal 51 ayat 1 tersebut menunjuk kepada dua hal.
Pertama, Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek pemohon.
Kedua, hak konstitusional MHA.
Kedua hal itu harus jelas dan terpenuhi agar MHA yang mengajukan permohonan memiliki Legal standing.
Sebagai subjek, maka persoalan nya adalah kesatuan masyarakat hukum yang dikategorikan sebagai MHA. Secara teoritis MHA memiliki paling tidak lima ciri:
1, wilayah atau teritorial tertentu
2, anggota/ penduduk yang hidup turun temurun di tempat yang sama
3, memiliki pemimpin yang berasal dari keturunan yang sama dan bertempat tinggal di tempat yang sama
4, memiliki harta bersama material dan immaterial
5, aturan aturan yang terpelihara yang mengatur hubungan hubungan hukum di antara mereka.
Secara historis timbul dan berkembang MHA, serta pendapat Prof. M. Nasroen, MHA dapat meliputi satu provinsi, beberapa kabupaten atau satu kabupaten, sehingga secara teritorial kesatuan MHA dapat melintas wilayah antara kebupaten.
Dewasa ini boleh dikatakan kesatuan Masyarakat Hukum Adat seluas kebupaten saja beberapa tempat telah dipupus oleh produk hukum nasional.
Bahkan dewasa ini dengan tegas bahwa pembentukan UU sendiri, seperti dapat di baca dalam UU no 32 tahun 2004. MHA telah direduksi eksistensi nya hanya setingkat desa (atau yang disebut nama lain).
Mengenai kedua atau hak konstitusional MHA dapat dijelaskan sebagai berikut.
Penjelasan Pasal 51 ayat 1 UU no 24/2003 yang dimaksud dengan " hak konstitusional" adalah hak hak yang diatur dalam UUD 45. Hak hak konstitusional dalam UUD 45 tertera dalam Pasal 27, 28, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I dan 28J.
Selain ketentuan tersebut khususnya MHA dalam Pasal 18 B ayat 2 yg dikategorikan hak konstitusional.
MHA adalah hak hak tradisional nya. Hak hak tradisional MHA secara historis juridis adalah otonomi. Dengan demikian, maka permohonan pengujian UU okeh MHA jika suatu UU mengatur hal bertentangan dengan otonomi MHA.
Dari sudut pandang UU no 24/2003, maka perlindungan yang efektif terhadap masyarakat hukum adat dapat dilakukan melalui keterlibatan MHA dalam Juridis Review.
Maksudnya jika MHA mengajukan pengujian UU dan memenuhi ketentuan Pasal 51 no 24/2003, maka proses yang dilakukan oleh MK dapat menjadi upaya yuridis melindungi hak MHA.
Namun demikian jika kembali kepada ketentuan Pasal 18 B UUD 45 dan UU no 32/2004, subjek dan hak konstitusional MHA sudah mengalami degradasi secara juridis.
Untuk menanggulangi degradasi tersebut posisi Pemerintah Propinsi dan kabupaten sangat strategis untuk memastikan kesatuan masyarakat hukum adat dan harta.
Salah satu nya dengan menyusun peraturan daerah tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Idee idee ini sebenarnya sudah penulis suarakan baik melalui seminar, workshop dan artikel di media sosial baik cetak maupun elektronik.
Selaku ketua pembina adat sumatera selatan (2019-2024).
Untuk menyuarakan nya kembali penulis juga sudah mendirikan Perkumpulan bernama PEDULI MARGA BATANG HARI SEMBILAN (SK Menteri Hukum dan HAM nomor AHU- 009146. AH. O1. 07 tahun 2024 tanggal 19 September 2024). Yang berkantor di Jalan Seruni Komplek Perumahan dosen UNSRI Blok. A,1 no. 4125 RW. 17. RT. 63 Bukit Lama Palembang.
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan