Breaking News

Perubahan Pasal 18 dan Aturan Peralihan Berdampak pada Masyarakat Hukum Adat


Tulisan Oleh: H.Albar Sentosa Subari

       Ketua Peduli Marga Batang HariSembilan

Jendelakita.my.id. - Pasal pasal sesudah perubahan (18 yang baru), Pasal 18 A dan Pasal 18 B.

Pasal 18 B (yang baru) tidak lagi menyebut istilah ' Daerah besar dan kecil' dan hak hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa.

Pasal 18 B ini hanya menyebutkan daerah propinsi, kabupaten dan kota yang memiliki pemerintahan daerah berdasarkan undang undang dengan fungsi menjalankan urusan pemerintahan menurut asas otonomi seluas luasnya dan medebewind, karena itu memiliki DPRD yang dipilih sendiri oleh rakyat daerah, berwenang membuat peraturan sendiri tetapi dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat, dikepalai oleh kepala pemerintahan yang disebut gubernur Badi daerah provinsi, bupati bagi daerah kabupaten dan walikota bagi kota.

Kesan yang dapat ditangkap dari ketentuan pasal 18 yang baru ini secara normatif bahwa desentralisasi yang dianut mengarah pada konsep desentralisasi tidak sempurna.

Tentang hak asal usul disebut dalam pasal 18 B ayat 2, dirumuskan dengan cara yang berbeda; Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih ada dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Meskipun pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisional nya ditampung dalam pasal ini, namun karena rumusan nya diubah atau menghilangkan kalimat inti "hak hak asal usul nya, maka pengakuan dan penghormatan beda dengan pengakuan dari penghormatan dalam pasal 18 sebelum amendemen..

Perubahan IV (2002), seperti ditegaskan dalam aturan tambahan pasal I, tidak lagi mengakui penjelasan UUD 45 sebagai bagian tidak terpisahkan dari UUD 45. Dengan demikian asas desentralisasi tidak lagi seperti dimaksud perumusan UUD 45. Jiwa utama asas desentralisasi yang meletakkan desentralisasi pada Masyarakat Hukum Adat dengan sendirinya ditinggalkan.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa desa adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. (Lihat UU no 22 tahun 1998, walaupun hanya setengah hati).

Undang undang nomor 23 tahun 2004 dan sudah diperbaharui dan ditindaklanjuti dengan undang undang tentang desa menyebutkan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas batas wilayah dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya di dalam undang undang desa, juga dikenal dua istilah yaitu desa dinas dan desa adat. Desa adat tentu dapat disebut dengan nama lain, seperti TIUH bahasa kumoring dan lain lain. Yang merujuk pada adat istiadat yang berlaku di sembilan batang hari yang berhulu di gunung Seminung, gunung Dempo dan gunung Kaba bermuara ke sungai Musi menuju lautan lepas selat Bangka.

Untuk mewujudkan eksistensi masyarakat hukum adat tentu harus di buat aturan turunan dari UUD 45 dan UU lainnya.

Yaitu perangkat Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati setempat. Kalau tidak hanya sebatas kajian normatif yang tentunya secara empirik akan merugikan masyarakat hukum adat. Contoh kasus pada tanggal 18 Desember 24 terulang kasus masyarakat hukum adat (penduduk) kepulauan Rempang Galang Batam.

Sampai menimbulkan korban luka luka baik dari masyarakat hukum adat (warga) maupun yang lainnya.

Hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus apalagi mau menuju Indonesia Emas 2045.