Breaking News

Suatu Refleksi Terhadap Peranan Pemimpin Adat



Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Dalam pengertian faham kebersamaan, kekuasaan yang oleh masyarakat diemban pada negara, dalam bahasa politik nya adalah relasi kendali a-simetris yang diberlakukan oleh negara pada segenap subjek kehidupan bernegara. Relasi kendali a-simetris simetrik adalah relasi yang secara alami pas persis, tidak lebih dan tidak kurang, dari yang diperlukan untuk eksistensi dari semua. Bila dilebihi, berarti menggantinya dengan relasi dominan a - simetris, maka eksistensi itu tidak alami lagi bila dikurangi, yang berarti merubah sifat a-simetrik menjadi simetrik maka eksistensi menjadi tidak mungkin.

Kita bercermin dengan adat Melayu, di dalam budaya Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat khususnya ada ungkapan yang menggambarkan karakter dari relasi kendali a-simetrik secara tepat, tajam , lugas dan indah yaitu diuntai dalam bahasa budaya yaitu; Pemimpin itu didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Bila tidak didahulukan selangkah, ia bukan pemimpin, melainkan kawan seiring, bila tidak ditinggikan seranting, ia bukan pemimpin melainkan teman sederajat. Bika didahulukan dua langkah, dia bukan pemimpin lagi, tetapi pemaksa, Bika ditinggikan dua ranting dia bukan pemimpin lagi tetapi penindas.

Gambaran di atas (budaya kepemimpinan Minangkabau - Melayu)

Dalam bahasa lainnya adalah Refleksi, yang juga disebut sebagai renungan kendiri atau muhasabah pengalaman diri. Tujuan merenung kembali adalah untuk memperbaiki amalan kerja.

Minimal ada sepuluh langkah yang harus direnungkan yaitu;

1, bagaimana saya memulakan kata, membawa isu dengan hikmah dan berhemah;

2, bagaimana sikap saya bila anak buah yang tidak sependapat dgn kita 

3, bagaimana cara yang baik saya menerima idee dari orang banyak;

4, bagaimana saya meyakinkan orang lain terhadap perkara yang benar tetapi sukar diterima oleh budaya setempat;

5, bagaimana saya mengendalikan musyawarah dalam komunitas;

6, bagaimana mengendalikan musyawarah dengan warga yang tidak atau kurang sadar terhadap kepentingan hak orang lain dalam masyarakat;

7, bagaimana menyelesaikan masalah masalah yang menyangkut isu isu sensitif misalnya spritual, kerohanian, keimanan dan kepercayaan.

8, sekiranya belum terdapat kata sepakat bagaimana tindakan atau langkah selanjutnya agar keharmonisan tidak terganggu;

9, bagaimana pimpinan adat (negara) menumbuhkan kembangkan semangat rasa kebersamaan;

10, bagaimana pemimpin adat dapat bermitra dengan pimpinan negara dalam menyelesaikan isu isu yang sensitif merusak generasi muda

Semua perkara di atas harus direnungkan dan perlu diambil tindakan oleh seorang Pemimpin (adat- Negara) menghadapi kemajemukan persoalan sosial dalam masyarakat/ negara.***

*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan