Adat Sumatera Selatan dalam Simbur Cahaya
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Pada suatu ketika saya mendapatkan undangan dari suatu komunitas (ikatan cendikiawan), untuk menjadi Nara sumber pada acara podcast. Dengan judul yang sudah ditentukan sebagaimana tertulis di atas pada judul artikel ini yaitu Adat Sumatera Selatan Dalam Simbur Cahaya.
Pada mulanya saya agak bingung harus berawal dari mana untuk menyampaikan materinya.
Karena dj situ terfokus pada ADAT dan SIMBUR CAHAYA.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa Hukum Adat Sumatera Selatan ada di dalam SIMBUR CAHAYA.
Sedangkan saya sendiri berpendapat berbeda dari mereka, sehingga nantinya sulit untuk dicerna apalagi sudah bersuuzon negatif.
Tapi ya sebagai akademisi yang pernah memberikan mata kuliah Hukum Adat di Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di Sumatera Selatan sejak tahun 1978 sampai tahun 2020, serta berkecimpung di kelembagaan adat Sumatera Selatan sejak tahun 1999 sampai 2024; rasanya perlu untuk memberikan pencerahan walaupun mungkin banyak yang tidak sependapat.
Bicara mengenai SIMBUR CAHAYA, konon bermula dari cerita masyarakat yang berkembang berasal atau ciptakan Ratu Sinuhun abad ke 16.
Yang pada abad ke 18 dan 19 ada dua versi SIMBUR CAHAYA yaitu buatan kolonial Belanda (dengan tiga bahasa arab Melayu, Belanda dan bahasa Melayu Indonesia) yang dicetak atas perintah Prof. Dr. Van Den Bosch sekitar tahun 1854. (Naskah ini masih bisa dilihat).
Dan yang ketiga versi PESIRAH BOND, tahun 1927. Masing masing mempunyai persamaan juga perbedaan yang dapat kita Comparative kan, misalnya saja jumlah pasal dan ayat serta susunan bab nya berbeda satu sama lain. Belum yang katanya susunan Ratu Sinuhun yg secara fisik belum pernah terlihat. Apakah sama dengan yang dibuat kolonial Belanda dan Pesirah Bond tersebut??.
Kalau pun sama atau juga berbeda , yang jelas itu merupakan suatu hasil tulisan atau cetakan yang dibuat itu adalah hasil himpunan peraturan yang berlaku di masyarakat hukum adat wilayah Sumatera Selatan pada masanya.
Karena itu merupakan hasil karya maka Prof Dr. H.M Koesnoe SH mengatakan bahwa SIMBUR CAHAYA itu adalah KOMPILASI. Bukan nya istilah yang biasa disebut orang Kitab (wet) ataupun undang undang.
Itu baru dari sisi istilah SIMBUR CAHAYA, belum lagi kita akan masuk dengan istilah HUKUM ADAT atau ADAT.
Istilah Adat merupakan istilah yang menunjukkan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia di mana adat itu tumbuh , lahir dan berkembang serta mati (tidak dipakai lagi).
Prof. MM. Djojodiguno SH serta Prof. Iman Sudiyat SH keduanya Guru Besar ilmu hukum adat di universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di mana penulis menimba ilmu khusus hukum adat, mengatakan bahwa adat atau hukum adat itu bersifat dinamis dan plastis, ngulur mengkerut+ lihat buku beliau berjudul Menyendra Hukum Adat, menyebutkan dengan UGERAN asal kata dari Uger. Yang diilustrasikan seperti hewan berkaki empat yang berputar putar, karena dirinya (sapi atau kerbau dsb) diikatkan pada sebuah tonggak atau pohon.
Jadi sebenarnya dapat tersimpulkan bahwa SIMBUR CAHAYA itu adalah berupa KOMPILASI (yang kebetulan berisikan aturan aturan yang berlaku secara global di dalam masyarakat hukum adat pada masa nya.
Sedangkan adat karena sifatnya dinamis dan plastis ngulur - mengkerut yang selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat maka di akan terus berkembang (istilah nya: hukum adat atau adat itu tumbuh, berkembang dan mati) sifatnya tidak statis.
Sehingga kalau diyakini Adat Sumatera Selatan ada dalam SIMBUR CAHAYA maka itu perlu diluruskan.
Kalau Prof. Dr. R. Soepomo SH mengatakan Hukum Adat adalah Hukum Non Statutair. (Tidak dibuat oleh lembaga legislatif - apalagi di kompilasi oleh ahlinya).
Kalau dalam undang undang nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana menggunakan istilah Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat.
Dalam penjelasan naskah asli UUD 45 menggunakan istilah hukum tidak tertulis.
Sedangkan para ahli hukum adat ada yang menggunakan istilah Hukum Kebiasaan (Prof. Bushar Muhammad, SH ).
Terakhir kita kutip rumusan Hukum Adat hasil dari simposium Nasional hukum adat di fakultas hukum universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 15-17 Januari 1975.
Hukum Adat adalah Hukum asli Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan undangan dan mendapat pengaruh agama.(Lihat pidato pengukuhan Prof Dr. YC. Thambun Anyang, SH, di Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura Pontianak Kalimantan Barat).***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan