Sejenak Mengenal 'Keadilan Restoratif '
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id. - Dies Natalia ke 64 Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya, banyak melakukan kegiatan kegiatan ilmiah, salah
satu nya kuliah umum yang berthema Restorative Justice Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana dengan mendatangkan Guru besar ilmu hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. I. Nyoman Nurjaya, SH.MS.
Sebagai almamater Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, saya
mencoba menurunkan satu artikel berjudul Sejenak Mengenal Keadilan Restoratif .
Selain itu juga sebagai mantan pengajar hukum adat tentu ada keterkaitan nya
antara Restoratif Justice dengan Perdamaian Adat.
Munculnya falsafah pemidanaan Keadilan Restoratif tidak
lepas dari filsafat filsafat pemidanaan yang telah hidup dan berkembang.
Tentu di dalam perjalanan nya mengalami perubahan perubahan.
Adanya perubahan tersebut merupakan bagian dari proses
evaluasi atau koreksi yang dilakukan oleh peradaban masyarakat secara
berkesinambungan dari masa ke masa.
Selama peradaban manusia masih terus berkembang, maka
falsafah metode pemidanaan akan terus mengalami perubahan.
Mulai dari justifikasi pemidanaan dengan cara penyiksaan (torture),
justifikasi pemidanaan tanpa disertai penyiksaan, justifikasi pemidanaan
sebagai sikap keagamaan yang berkaitan dengan penebusan dosa atau kesalahan,
justifikasi pemidanaan atas dalil utilitas, justifikasi proporsionalitas antara
moralitas dan rasionalitas dengan suatu ukuran (measure) dan kemanusiaan+
humanity) (Michael Foucauh, dalam Hamonangan Albariansyah, 2022: 41).
Semua phase phase pemidanaan di atas satu sama lain
mempunyai tujuan yang berbeda beda
Pemidanaan sebagai bentuk sanksi yang disepakati masyarakat
atau penguasa, tentunya tetap memperhatikan hubungan antara pelanggaran,
kesalahan dan pemidanaan.
Kalau kita ingin mengingatkan sejarah penyelesaian perkara
yang terjadi di masyarakat hukum adat ada yang dikenal dengan istilah DELIK
ADAT (istilah Prof. Dr. R. Soepomo dalam bukunya Bab Bab tentang Hukum Adat).
Ataupun istilah Penyimpangan Adat ( istilah Prof. Dr.
Soerjono Soekanto SH).
Bahwa Delik Adat adalah suatu perbuatan sepihak dari
seseorang atau kelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang
mengakibatkan kerugian terhadap orang tersebut baik kerugian bersifat materiil
maupun non material. Dan yang bersangkutan harus mengganti kerugian tersebut (Prof.
Iman Sudiyat SH).
Adapun tujuan tersebut adalah untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat terjadinya delik adat itu.
Tentu di sini , karena tujuannya adalah untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu maka keseimbangan tersebut harus dikembalikan (bukan
dihukum fisik).
Kalau sudah terjadi kesepakatan bersama dengan jalan
perdamaian adat maka semua persoalan selesai.
Konsep seperti inilah yang sedang dikembangkan oleh lembaga
kepolisian dan kejaksaan dengan istilah yang dimodernisasi dengan istilah
Restoratif Justice.
Beberapa kelembagaan adat yang tergabung di Lembaga Adat
Rumpun Melayu (LARM) se Sumatera sudah menjadi ikut melakukan kerjasama dengan
penegak hukum di Mading masing propinsi dan kabupaten kota
Misalnya di Lembaga Adat Melayu Propinsi Riau dan Jambi,
serta lembaga lembaga adat lainnya termasuk di Sumatera Selatan sudah ikut
berpartisipasi berfungsi sebagai mediator.
Hal tersebut juga ditunjang dengan adanya pengakuan hukum
yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) oleh peraturan perundang undangan
antara lain Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP tahun 23).
Khusus di Sumatera Selatan selain itu , ada juga Undang
Undang terbaru yaitu UU Nomor 9 tahun 2023
tentang Pembentukan Propinsi Sumatera Selatan. (Perubahan Undang-undang yang
lama, karena dirasakan tidak sesuai lagi).
Berkenaan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur
dalam Pasal 5 butir c) tentang karakteristik suku dan budaya di Sumatera
Selatan.
Hanya tugas kita sebagai praktisi hukum adat (pemangku dan
pembina adat) diharapkan untuk bekerja
keras membuat aturan turunan dari undang-undang itu. Yaitu pembuatan Peraturan
Daerah kabupaten dan kota.
Tentu ini harus bersinergi dengan pihak pemerintah dan
stakeholder lainnya seperti Forum Masyarakat Peduli Sumatera Selatan dan PEDULI MARGA BATANG HARI SEMBILAN (dimana
penulis selaku ketua PMBHS).
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga
Batang Hari Sembilan