Nilai Tradisional Yang Mendorong Pembangunan
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Nilai -budaya kita (dari semua suku suku bangsa) yang berorientasi vertikal ke atas ; ada unsur positif dan unsur negatif nya.
Cara memecahkan kontradiksi itu adalah dengan menanam nilai nilai yang lebih berorientasi terhadap kemampuan sendiri (jadi kurang menanamkan sifat ketergantungan kepada atasan) kepada generasi anak anak kita, tetapi menarik manfaat aspek positif yang ada pada nilai nilai budaya itu untuk bagi generasi kita yang sudah terlanjur dijiwai oleh nilai itu).
Aspek positif dari nilai budaya itu adalah bahwa ia dapat memudahkan taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan dengan cara memberi contoh. Asalkan banyak pembesar dan pemimpin mau hidup sederhana dan hemat, maka rakyat di bawahnya akan turut hidup sederhana dan hemat: asal saja banyak para pembesar dan pemimpin sendiri mau hidup ketat disiplin, mentaati hukum dan aturan, maka rakyat di bawahnya akan turut hidup ketat berdisiplin, mentaati hukum aturan aturan.
Seperti di dalam proses pembangunan di Jepang, untuk waktu yang lama mempergunakan nilai budaya yang berorientasi vertikal ke arah atasan (yang juga amat kuat dalam mentalitas orang jepang), untuk menggerakkan rakyat, untuk mendisiplinkan rakyat dan untuk memelihara loyalitas mutlak dalam jiwa rakyat Jepang terhadap pekerjaan dan negara. Hanya bedanya dengan di Jepang, bahwa negara kita tidak ada suatu tokoh kaisar-keramat-keturunan- dewa yang jauh dari pandangan rakyat. Dan yang bisa dipakai sebagai titik tujuan dari orientasi.
Di dalam masyarakat kita titik tujuan orientasi adalah manusia manusia biasa, yang memang berpangkat tinggi, tetapi yang penuh dengan kesalahan kesalahan duniawiyah, yang tampak terang benderang di depan mata rakyat.
Nilai budaya lain yang hidup di suku suku bangsa Indonesia adalah nilai " tahan penderitaan". Nilai budaya ini rupanya bersumber kepada nilai dan konsep lain, ialah misalnya konsep yang beranggapan bahwa hidup itu sudah dari mula mula harus kita terima sebagai suatu hal yang pada hakekatnya penuh penderitaan dan bukan sebagai suatu karunia yang penuh kenikmatan. Di satu pihak nilai ini ada aspek negatifnya, karena dalam bentuk ekstrimnya akan memberi kesempatan kepada berkembangnya aliran aliran kebatinan yang memfokuskan kepada fungsi menderita untuk kenikmatan rasa menderita nya itu sendiri. Sebaliknya justru keuletan untuk hidup menderita sekian lama, tetapi toh masih tetap menuntut suatu kesanggupan untuk mengikuti proses gerak hidup masyarakat, merupakan suatu sifat positif yang menguntungkan untuk pembangunan, yang secara tak sadar telah dieksploitasi selama ini. Upah dari gaji rendah yang mengkompensasi masa yang disumbangkan kepada masyarakat okeh rakyat dan pegawai di negeri ini, adalah seberapa suatu pengganti bagi sifat hemat, yang masih harus kita pelajari sebagai suatu nilai yang baru.
Akhirnya, suatu sifat positif dalam Mentalitas kita adalah konsep yang merupakan salah satu unsur dalam nilai GOTONG ROYONG (huruf kapital oleh penulis). Unsur itu sebenarnya merupakan suatu tema berfikir, bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya, di mana ia merasa dirinya hanya sebagai suatu unsur yang ikut terbawa dalam proses peredarannya. Suatu tema cara berpikir seperti itu, tentu membawa suatu rasa keamanan yang sangat dalam dan mantap kepada kita, karena pada latar belakang dari pikiran kita tetap ada bayangan bahwa dalam keadaan malapetaka dan bencana, pasti ada saja yang akan membantu kita dan bahwa kita tidak pernah perlu takut untuk hidup terisolir sebagai sebatang kara.
Ingat seperti yang dikatakan oleh guru besar ilmu hukum adat universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof. M.M. Djojodiguno SH dan Prof. Iman Sudiyat SH, bahwa ada adagium di masyarakat Indonesia yang mengatakan Saya ada karena saya bersama orang lain (masyarakat), masyarakat ada, karena ada pribadi pribadi yang bersatu membentuk komunitas dengan mempunyai tujuan yang sama.***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan