Menapakkan Kaki Ke Marga
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Suatu sore saya ditanya seorang jurnalis, pertanyaan apakah mungkin kita kembali ke sistem marga.?..
Tentu dengan pertanyaan tersebut, saya balik tanya kepada nya, apa yang anda maksudkan dengan " sistem marga".
Karena menurut historis yang berkembang sistem marga itu minimal memiliki dua makna. Dan akhirnya kembali ke satu makna asal.
Untuk itu sebelum menjawab pertanyaan jurnalis tersebut akan kita ceritakan sedikit mengenai masing-masing makna yang kita maksudkan.
Pertama, makna sistem marga yang bermula dari pokok bahasan tentang sejarah kehidupan satu komunitas tertentu dan seiring waktu Mading Mading komunitas tersebut melakukan interaksi sosial, maka terjadilah yang maknanya sistem marga pertama kali.
Yaitu Komunitas yg memiliki ikatan geneologis, sehingga satu sama lain terikat dengan sistem budaya adat istiadat yang sama yaitu adat prilaku warisan dari orang orang terdahulu ( phuyang) masing masing yang satu sama lain mungkin sama mungkin juga ada perbedaan, karena mereka berasal dari keturunan dan wilayah yang berbeda-beda.
Itulah yang di daerah kumoring disebut dengan tiuh. Tiuh dipimpin oleh seseorang yang dituakan ( dalam bahasa ilmiah hukum modern adalah sebagai pimpinan informal, tokoh masyarakat atau biasa' disebut orang yang dituakan).
Di mana tiap tiap suku atau etnis menyebutkan berbeda beda.
Pada makna pertama ini sistem marga masing bersifat geneologis.
Kedua, makna sistem marga selanjutnya adalah perkembangan dari sistem marga pertama dari sifat geneologis menuju geneologis - territorial.
Perkembangan ini baik faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal disebabkan oleh perkembangan masyarakat menuju dari sistem tiuh ( dusun) menuju kepada serikat dusun.
Sedangkan faktor eksternal karena ada dampak pengaruh datang dari masyarakat luar ( biasa disebut masyarakat Ilir), ataupun juga terutama dari pengaruh pemerintahan kolonial yang mendatangi wilayah Indonesia khususnya di Sumatera Selatan.
Yang kesemuanya dengan motivasi mencari bahan bahan seperti Hadil hutan, perkebunan yang bisa di ekspor ke luar negeri, dengan memanfaat sumber daya manusia yang ada di pedalaman tadi ( masyarakat ulu).
Kembali ke pertanyaan jurnalis tadi , jawabnya adalah.
Kalau yang dimaksud dengan sistem marga dalam arti yang asli ( geneologis dan teritorial sebelum mendapatkan intervensi dari luar, saya selaku akademisi maupun praktisi di dunia budaya khususnya hukum adat maka jawaban nya adalah BISA, sebab di dalam peraturan perundang undangan baik zaman orde baru maupun setelah amendemen UUD 45, hal tersebut tetap diakui keberadaanya.
Pasal 18 B ayat 2. Negara mengakui kesatuan masyarakat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan zaman dan diatur dalam undang-undang dan berasaskan negara kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 5 butir c Undang Undang nomor 9 tahun 2023, tentang Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, mengakui marga sebagai satu kesatuan adat yang merupakan karakteristik masyarakat hukum adat.
Dari semua nya tidak ada yang menyebutkan sistem marga dalam makna kedua (sistem pemerintahan). Untuk jawaban kedua, kalau yang dimaksudkan oleh penanya tadi adalah sistem marga yang telah mendaftar intervensi kolonial Belanda maka jawaban TIDAK BISA
Karena di dalam perkembangan sistem marga yang kedua ini selain bukan lah memiliki akar budaya asli, tapi buatan kolonial Belanda khususnya melalui IGOB ( dasar hukum berlaku nya Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di luar Jawa dan Madura). Ini sudah di hapus oleh peraturan perundang-undangan yaitu Undang Undang Nomor 5 tahun 1974 Jo Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 ( lihat buku Prof. H. Amrah Muslimin SH guru besar hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya) dalam bukunya Sejarah Dusun dan Marga Menjadi Desa dan Kelurahan di Sumatera Selatan dan buku bapak H. Arlan Ismail SH berjudul Sejarah Marga di Sumatera Selatan)
Dan kedua peraturan perundang-undangan diatas ( UU no 5 tahun 74 dan UUD nomor 5 tahun 79)., ditindak lanjuti dengan Permendagri nomor 11 tahun 1981.
Dan terakhir dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983 mulai efektif 1 April 1984.
Maka makna sistem marga dalam arti sistem pemerintahan telah dihapuskan.
Sedangkan sistem marga dalam arti kesatuan masyarakat hukum adat terap diakui dan tidak pernah diubah yang selanjutnya disebut LEMBAGA ADAT ( lihat butir ketiga dari SK Gubernur Sumatera Selatan nomor 142 tahun 1983.
Yang selanjutnya di dalam Undang Undang Desa ( UU No 6 tahun 2014 ) dapat dikategorikan sebagai DESA DINAS
Kesimpulan
1, bahwa sistem marga yang dapat ditelusuri dan dikembangkan, dengan memberdayakan masyarakat hukum adat adalah marga dalam SISTEM KESATUAN ADAT ( asli).
2, sedangkan sistem marga , yang dimaksud kan sebagai sistem pemerintahan sudah tidak dimungkinkan, baik karena itu buatan kolonial tentu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. Dan sudah dihapuskan oleh regulasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3, untuk itu guna mengembangkan dan memberdayakan masyarakat hukum adat perlu adanya PERDA Kabupaten tentang Perkembangan masyarakat hukum adat.
4, untuk merintis ke sana saya mencoba mendirikan perkumpulan yang bernama PEDULI MARGA BATANG HARI SEMBILAN, dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia nomor AHU 009146 tahun 2024 dengan akta notaris nomor 21 tanggal 19 September 24.***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan