Kholil Sang Penguasa Lautan
![]() |
Image by agus santoso from Pixabay |
Jendalakita.my.id - Di tengah lautan yang tenang, ada sosok legendaris yang dikenal sebagai Kholil, Penguasa Lautan. Kholil bukan manusia biasa. Ia adalah anak dari Dewi Laut dan Naga Samudra, memiliki kekuatan untuk mengendalikan air, berbicara dengan makhluk-makhluk laut, dan bahkan mengendalikan badai. Selama ratusan tahun, Kholil menjaga keseimbangan di lautan, melindungi para pelaut dan menjaga kedamaian antara manusia dan penghuni laut.
Pagi itu, langit berwarna biru cerah dan ombak berdesir lembut di sepanjang pantai Pulau Timur. Namun, suasana hati Kholil gelap. Sebuah kapal besar milik manusia tampak di kejauhan, mengganggu ketenangan lautan. Mereka mengambil lebih dari yang diperbolehkan dari perairan ini—ikan, karang, dan bahkan makhluk-makhluk laut langka. Kholil tak bisa membiarkan ini terus terjadi.
Di atas kapal, nakhoda bernama Bahri memandang laut dengan mata penuh keserakahan. “Kita akan menjadi kaya! Lautan ini milik kita!” serunya kepada para awak kapal.
Namun tiba-tiba, angin mulai berhembus kencang, dan ombak semakin tinggi. Di hadapan kapal itu, muncul pusaran air besar, dan dari dalamnya muncul Kholil, dengan rambut panjangnya yang berkilau seperti perak dan mata biru seperti samudra dalam.
Bahri dan para awaknya terpana. Tubuh Kholil menjulang besar, berbalut jubah biru laut yang memancarkan cahaya. Di sekelilingnya, makhluk-makhluk laut seperti ikan pari, paus, dan hiu berputar-putar seakan melindunginya.
“Kalian telah melampaui batas!” suara Kholil menggema seperti deru ombak. “Laut ini bukan milik kalian. Kalian tamu di sini, dan tamu tidak boleh serakah.”
Bahri berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Siapa kau? Lautan ini tak punya penguasa! Kami datang untuk mengambil yang berhak kami dapatkan.”
Mata Kholil menyipit, wajahnya menunjukkan ketegasan yang luar biasa. “Aku Kholil, Penguasa Lautan. Aku telah menjaga perairan ini sejak manusia pertama kali belajar berlayar. Kau tak punya hak untuk merusak apa yang kulindungi.”
Bahri tertawa kecil, meskipun suaranya bergetar. “Kami punya senjata! Kami bisa melawanmu.”
Kholil mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, ombak besar datang menghantam kapal itu, mengguncang keras hingga hampir terbalik. Para awak berteriak panik, berlari kesana kemari mencari perlindungan. Bahri tersungkur, terjatuh ke geladak, gemetar ketakutan.
“Kalian hanya manusia. Senjatamu tak akan bisa melawan kekuatan lautan,” kata Kholil dengan dingin. “Tapi aku bukan makhluk yang kejam. Aku memberikan pilihan kepada kalian: tinggalkan perairan ini dan jangan pernah kembali, atau aku akan menghancurkan kapal kalian dan kalian akan menjadi makanan bagi makhluk laut.”
Bahri yang sombong kini tak lagi bisa berkata-kata. Wajahnya pucat pasi, dan ia tahu bahwa melawan Kholil bukanlah pilihan yang bijak. Dengan suaranya yang gemetar, ia berkata, “Maafkan kami… Kami akan pergi. Kami tidak tahu… Kami tidak tahu siapa engkau.”
Kholil menatap Bahri dengan tajam. “Kalian manusia sering tidak tahu, dan itulah masalahnya. Ingat, lautan bukan hanya sumber kekayaanmu. Ini rumah bagi banyak makhluk, dan aku akan selalu ada untuk menjaga keseimbangan.”
Dengan sekali ayunan tangan, ombak yang tadinya bergelora mulai mereda. Laut kembali tenang, seakan badai tak pernah terjadi. Para awak kapal yang tadinya panik segera mempersiapkan diri untuk pergi, tak ada satu pun yang berani menentang lagi.
Ketika kapal mulai menjauh, Kholil menatap cakrawala. Ia tahu ini bukan akhir dari perjuangannya. Manusia akan selalu datang, mencari lebih banyak, mengambil apa yang bukan hak mereka. Namun selama ia masih ada, lautan akan tetap terjaga, dan ia akan memastikan keseimbangan itu tidak terganggu.
Di antara desiran angin dan ombak yang tenang, suara Kholil bergema, “Aku akan selalu menjaga lautan ini, sampai akhir zaman.
Tamat.