Breaking News

Kesatuan Adat Budaya Marga


Tulisan oleh : H Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id. - Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2023, tentang Provinsi Sumatera Selatan, yang diundang di Jakarta 4 Januari 2023 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 56, di dalam butir angka c dinyatakan bahwa Undang Undang Nomor 25 tahun 1959 tentang Penetapan "Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan" dan Undang Undang Darurat nomor 16 tahun 1955 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 3 tahun 1950 (LN 1955 No. 52), Sebagai Undang Undang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan sehingga perlu diganti.

Yang akan di kaji dalam tulisan ini berkaitan dengan Bab. III, Cakupan Wilayah, Ibu Kota dan Karakteristik Provinsi Sumatera Selatan (Pasal 3 , 4 dan 5).

Pada tulisan ini sebagai sub topik kita adalah pada Pasal 5 nya butir c yang berbunyi sebagai berikut;

"suku bangsa dan kebudayaan terdiri atas keragaman SUKU ASLI (huruf kapital oleh penulis), kekayaan sejarah Sriwijaya, bahasa, kesenian, desa adat, KESATUAN ADAT BUDAYA MARGA (huruf kapital oleh penulis), ritual, upacara adat, situs budaya dan KEARIFAN LOKAL yang menunjukkan karakter religius dan KETINGGIAN ADAT ISTIADAT masyarakat Sumatera Selatan.

Pada bagian bagian kalimat Pasal 5 butir c, yang okeh penulis di buat dengan huruf kapital; karena hal itu saling berkaitan satu sama lain yang tak dapat dipisahkan dalam satu makna.

Pertama Kalimat Suku Asli, tentu maksudnya adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang bermula berdomisili di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang menurut teori dari beberapa pengarang misalnya buku karangan H. Arlan Ismail, SH berjudul Marga di Sumatera Selatan dan buku Perkembangan Sejarah Dusun dan Marga Menjadi Desa dan Kelurahan karangan Prof. H. Amrah Muslimin SH, yang berasal dari dataran tinggi di Sumatera Selatan dan menyebar melalui aliran sungai Batang Hari Sembilan, yang lebih kurang berjumlah 188 Marga (sebagai kesatuan masyarakat hukum adat).

Yang masing masing komunitas masyarakat hukum adat tersebut dipimpin oleh orang orang yang dituakan dari Masing-masing ke phuyang an mereka (yang bermula bernama talang, dusun dan serikat dudin dusun; yang akhirnya disebut Marga - teritorial + geneologis).

Tentu hasil dari berinteraksi sesama anggota masyarakat terciptalah masing masing adat , istirahat dan hukum adat yang selanjutnya disebut: kearifan lokal.

Tiap tiap kearifan lokal phuyang, yang meningkat menjadi kearifan dusun, dan kearifan marga, terakhir menjadi kearifan lokal (baca daerah Sumatera Selatan), menjadi kearifan daerah Sumatera Selatan.

Kearifan lokal tersebut mempunyai nilai luhur (ketinggian), sebagai adat istiadat yang bernuansa religius.

Kedua dari pengamatan penulis, lembaga legislatif dalam hal merumuskan butir c dari pasal 5 UU Nomor 9 tahun 2023 ini sepertinya tidak terlepas dari teori Receptcio in complektio. Bahwa adat istiadat dari kesatuan masyarakat hukum adat tidak terlepas dari nuansa kepercayaan nya. Seperti pepatah pandangan hidup masyarakat Melayu: Adat Bersandi Syara', Syara' bersendi Kitabullah.

Jadi jelas di dalam Undang Undang Nomor 9 tahun 2023 ini menunjukkan makna MARGA sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan butir ketiga dari Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/ 1983, tanggal 24 Maret 1983 yang selanjutnya di sebut LEMBAGA ADAT.

*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan