Gotong Royong yang Sebenarnya
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Berawal dari pertanyaan; apakah sebenarnya gotong royong itu.
Konsep gotong royong yang kita nilai tinggi merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agraris. Istilahnya istilah Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa Mada sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu dengan adat sopan santun yang sudah tetap, seorang petani meminta beberapa orang lain se desa, misalnya untuk membantunya dalam mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru ( memperbaiki) saluran saluran air dan pematangan pematangan, menyangkul , membajak,dan sebagainya. Petani tuan rumah hanya harus menyediakan makan siang tiap hari kepada teman teman nya yang datang membantu itu, selama pekerjaannya berlangsung. Kompensasi lainnya tidak ada, tetapi jang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuannya. Dengan demikian sistem gotong royong sebagai suatu sistem penyerahan tenaga seperti itu, amat cocok dan flexible untuk teknik bercocok tanam yang bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu unsur yang belum masuk ekonomi pedesaan. Tenaga tambahan dapat dikerahkan bilamana perlu, dan segera dibubarkan lagi bila pekerjaan selesai. Di desa desa di Jawa, kerja sama tolong menolong dalam bercocok tanam seperti itu biasanya dilakukan para petani yang memiliki bidang bidang sawah yang berdekatan letaknya.
Dengan masuknya uang menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi pedesaan, Yudi beberapa daerah di Jawa sudah mulai dalam abad ke 19 yang lalu.
Kecuali dalam kegiatan produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat yang lain, ialah;
1, aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, membersihkan rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya. Adat untuk meminta bantuan tetangga guna pekerjaan pekerjaan serupa itu di daerah kebumen disebut dengan istilah guyuban.
2, aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat untuk menyelenggarakan pesta atau upacara adat lainnya disebut dengan nyurung.
3, aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana lainnya. Di Karanganyar Kebumen disebut telulung layat..
Akhirnya perlu diketahui disebut satu aktivitas pengerahan tenaga yang sering juga disebut gotong royong, ialah pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum atau berguna untuk pemerintah. Sistem itu berasal dari zaman kerajaan kerajaan kuno, di mana rakyat desa dapat dikerahkan untuk bekerja tanpa bayaran dalam proyek proyek pembangunan bagi raja, bagi agama atau bagi kerajaan. Dalam zaman penjajahan sistem kerja bakti itu dipergunakan untuk mengerahkan tenaga bagi proyek proyek pemerintah kolonial. Dalam zaman kemerdekaan sistem itu digunakan secara leluasa dalam pembangunan, seperti disebut dengan gugur gunung, rodi, kompenian dan lain sebagainya.
Kesimpulan sejarah nya konsep gotong royong, tolong menolong, yang mula mula hanya berwujud sebagai suatu sistem pengerahan tenaga tambahan pada masa masa sibuk dalam produksi bercocok tanam, sebagai sistem tolong menolong antara tetangga dan kerabat dalam kesibukan kesibukan sekitar rumah tangga, waktu pesta dan pada peristiwa peristiwa duka, dijadikan satu dengan sistem rodi itu?. Rupa rupanya, sejarah nya mulai waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam zaman Jepang, mengangkat konsep itu menjadi suatu unsur unsur yang amat penting dalam rangkaian prinsip prinsip dasar dari negara kita.
Hal itu dapat kita telusuri dari beberapa pidato bung Karno dalam menyusun dasar negara Republik Indonesia.***
*) Penulis adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan