Dilematis Bagi Penegak Hukum
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Membaca
berita berjudul Keluarga Purnomo dan Topandri Berdamai, yang dimuat di halaman
muka dari media cetak yang terbit di Palembang pada hari ini.
Sekedar mengingat kasusnya: adalah peristiwa kecelakaan maut
di PALI yang mengakibatkan dua beradik tewas.
Pengendara mobil adalah Ketua KPU Kota Lubuklinggau.
Pada hari Senin tanggal 1 Januari 2024, telah dilakukan
mediasi, mereka sepakat untuk menyelesaikan permasalahan ini secara
kekeluargaan.
Mediasi ini ditengahi oleh Kepala Desa Sungai Baung.
Sebagai tanda kesepakatan mereka telah menandatangani
bersama sama sama surat perdamaian.
Semua permintaan keluarga korban dan hak hak lainnya sudah
mereka terima, termasuk jasa Raharja untuk korban yang meninggal dunia.
Dan pihak kepolisian sudah mendengar informasi tersebut dan
untuk menentukan langkah hukumnya masih menunggu tahapan dan prosedur
berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Sampai saat ini berita di media tanggal Jumat, 5 Januari
2024 masih ditahan di Mapolres Pali, kata Kasatlantas Polres Pali AKP. Kukuh
Febrianto yang dihubungi via telpon oleh redaksi.
Terlepas dari kasus tersebut di atas, memang masalah seperti
ini merupakan Dilema Pihak Kepolisian. Dan sering dipertanyakan masyarakat kota
dan pedesaan saat momen adanya penyuluhan hukum.
Yaitu pertanyaan; apakah masih juga tersangka dalam hal
kecelakaan seperti kasus di atas tetap diproses tindak pidananya alias tetap
ditahan minimal tahanan kota yang setiap waktu harus hadir laporan.
Sampai menunggu putusan pengadilan.
Jawabnya tentu berdasarkan perundangan undangan yang
berlaku.
Selama ini memang sering terjadi ada yang cukup dengan damai
keluarga, ada juga yang tetap diproses hukum pidana nya.
Kajian hukum Positivistik tentu tindak pidananya tetap
diproses, karena ada adagium yang selalu dipegang adalah PERDAMAIAN TIDAK
MENGHAPUS UNSUR TINDAK PIDANA.
Dan ini wajar karena KUHP kita yang lama terjemahan pribadi
dari WvS peninggalan kolonial masih berlaku sampai tanggal 1 Januari 2026.
Karena KUHP Baru dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 2023
baru efektif berlaku 2 Januari 2026. Sedangkan disisi lain memang sudah ada kebijakan
pihak penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) adanya lembaga Restoratif
justice.
Itupun masih diatur dengan syarat syarat limitatif.
Memang sebenarnya terjemahan kata Perdamaian Adat, dengan
istilah Restoratif justice mempunyai akar budaya yang berbeda jauh, sehingga
berbeda cara, namun secara makna sama yaitu Penyelesaian/ Mengakhiri secara
perdamaian.
Perdamaian memang khas budaya Indonesia yang sudah turun
temurun berlaku disaat masyarakat hukum adat menyelesaikan bila terjadi Delik
Adat (istilah Prof. Soepomo, SH salah satu konseptor UUD NKRI tahun 1945), dan
penyusun penjelasan UUD NKRI tahun 1945, yang kini di over ke pasal pasal bagian
tubuh UUD NKRI tahun 1945 (setelah diamendemen).
Dan kita lihat turunan nya ada di dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana Baru yaitu Pasal 597. KUHP Baru;
(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang,
diancam dengan Pidana.
(2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
Pasal 66 ayat (1) huruf f berbunyi pemenuhan kewajiban adat
setempat.
Kalau kita boleh mengkaji lebih lanjut dengan menggunakan
cara berfikir a Contrario atau menggunakan metode penafsiran perluasan (ekstensif
interpretasi) maka setelah perdamaian bisa juga menghapus unsur tindak
pidananya. Namun akhirnya tetap di tangan hakim pengadilan juga.
Karena yang berwenang adalah hakim untuk menafsirkan dan
berlogika seperti itu.
Dengan asas Praduga Tak Bersalah. ***
*) Ketua Pembina Adat
Sumatera Selatan