Perdamaian Adat Mempunyai Makna Beda dengan Restoratif Justice
Penulis Adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Perdamaian Adat merupakan hukum lokal
masyarakat hukum adat yang sudah lama dipraktekkan sejak terbentuknya komunitas
manusia. Perdamaian Adat adalah suatu proses penyelesaian mencari titik temu
diantara pihak pihak yang terkait guna mengembalikan keseimbangan yang
terganggu baik dari kerugian materil maupun non materil.
Dengan penyelesaian
tersebut semua pihak tidak ada yang merasa dikalahkan atau dizalimi.
Sedangkan dalam
istilah sekarang ada dikenal dengan istilah asing sebutan nya Restoratif
justice, dengan dasar surat edaran Jampidum nomor 1 tahun 2022 dan peraturan
kejaksaan nomor 15 tahun 2020.
Kemudian adanya
peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2021, menyatakan, perkara tindak pidana yang
dapat diselesaikan secara Restoratif justice adalah perkara tindak pidana
ringan.
Hal di atas mencuat
setelah adanya berita baik di media cetak dan elektronik telah terjadi
kecelakaan di kabupaten PALI, yang mengakibatkan kakak beradik tewas ditabrak
mobil. Kebetulan mobil Toyota Rush tersebut dikendarai Ketua KPU Lubuklinggau.
Dari peristiwa
tersebut telah mendapat tanggapan dari para ahli hukum pidana yang intinya
bahwa terhadap kejadian tersebut tidak dapat digunakan dengan cara Restoratif
justice alasan karena tidak termasuk dalam aturan aturan yang telah dikeluarkan
oleh penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan).
Sebagai ketua
pembina adat Sumatera Selatan tentu hal ini menarik dicermati bahwa:
Pertama, dari
kesannya aturan Restoratif justice masih diwarnai oleh cara berpikir
Positivistik -Legalistik. Artinya masih mengedepankan legalitas untuk mencapai
kepastian baca kepastian hukum.
Tentu ini pertanyaan
yang bisa dijabarkan dalam beberapa jawaban atas pertanyaan pertanyaan
tersebut.
Salah satu faktor
penyebabnya adalah ada sesuatu beda antara kita tentang apa itu tujuan hukum.
Bagi mereka yang
mendapatkan teori barat dan memang sudah populer di kalangan masyarakat bahwa
tujuan hukum adalah: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Sedangkan yang
sebenarnya bahwa tujuan hukum itu di negara Pancasila adalah sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD NKRI tahun 1945 yang dikenal dengan istilah
Rechtside.
Yang intinya adalah
bahwa semua persoalan bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
Kalau mau
menggunakan istilah Prof.Dr. Satjipto Rahardjo adalah Hukum Subtantip.
Atau dengan istilah
lain Normatif - Empiris.
Di dunia lain
disebut paham sosiological - jurispruden.
Kembali ke
pembicaraan semula apakah kasus kasus seperti dalam berita di atas tidak bisa
diselesaikan secara Adat?
Jawabnya bisa saja
terletak bagaimana cara kita memberlakukan tata nilai dalam masyarakat yang
sudah lama dikenal yaitu kata kuncinya PERDAMAIAN.
Sebab kalau masih
menggunakan jalur Restoratif justice tak akan selesai karena pola pikirnya
masih Positivistik -Legalistik.
Artinya tujuan yang
utama dan pertama adalah KEPASTIAN bukan KEADILAN berdasarkan nilai nilai
Pancasila.
Kedua, penggunaan
Simbur Cahaya sebagai contoh yang disampaikan salah satu ahli hukum pidana dan
kriminologi. Itu suatu hal yang sebenarnya sama dengan makna Restoratif
justice, karena di dalam Simbur Cahaya itu sendiri mengatur batasan batasan
yang harus dipenuhi.
Dengan berlaku Kitab
Undang Undang Hukum Pidana Baru, dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 23, membuka
sedikit pintu memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat, namun juga masih
menggunakan cara berpikir legalistik yaitu melalui peraturan hukum tertulis
yang dituakan dalam PERDA.
Simpulan menurut
saya baik selaku mantan teoritisi maupun selaku Ketua Pembina Adat Sumatera
Selatan bahwa Negara memberlakukan HUKUM ADAT masih SETENGAH HATI.
Sama seperti
pendapat Dr. Saafroedin Bahar mantan anggota Komnas HAM sub perlindungan
terhadap masyarakat hukum adat mengatakan persyaratan adanya masyarakat hukum
adat dibatasi jika memenuhi unsur: masih hidup, sesuai perkembangan zaman,
berasas NKRI dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini sama
dalam KUHP Baru yaitu harus ada PERDA.
Seharusnya setelah
terjadi proses perdamaian Adat tujuan hukum adalah telah terjadi keseimbangan
keadilan dari masing masing pihak termasuk pihak ketiga yaitu masyarakat dan
negara.
Maka menurut penulis
adalah tidak wajar kalau suatu kasus sudah ada proses kekeluargaan yang memang
merupakan nilai nilai budaya yang sudah tumbuh berkembang di Nusantara.
Tidak perlu lagi
negara via kepolisian untuk memproses atau menindaklanjuti suatu tindak pidana
tersebut.
(Baca seperti
sekarang, walaupun telah selesai perdamaian; masih tetap dilanjutkan dengan
memegang adagium Perdamaian TIDAK menghapus unsur tindak pidana.
Itu konsep
kolonisasi yang memang berphilosofi liberal dan individual.
Sedangkan dalam
konsep adat adalah Komunitas lebih diutamakan sebagai nilai nilai Pancasila.
Pancasila merupakan kristalisasi dari budaya Nusantara (ingat pidato Ir.
Soekarno saat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. 16 tahun beliau menggalinya
sebelum proklamasi 17 Agustus 1945. Yang disahkan sebagai dasar dan philosofi
bangsa Indonesia dengan simbul Bhinneka Tunggal Ika. Dari Sabang sampai Merauke
sebagai satu ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumsel