Penjara Hukum yang Bersifat Positivistik -Legalistik
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Di
tengah keterpurukan praktek berhukum di negara kita yang mewujudkan dalam
berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok
masyarakat lemah atau miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan
menerapkan hukum secara legalistik - positivistik, yakni berhukum yang berbasis
pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tetapi perlu melakukan
terobosan Hukum, Yang dalam istilah Satjipto Rahardjo, disebut sebagai
penerapan hukum progresif.
Salah satu aksi progresif hukum, adalah berusaha keluar dari
belenggu atau penjara Hukum Yang Bersifat Positivistik -Legalistik.
Dengan pendekatan yuridis - sosiologis, diharapkan selain
akan memulihkan hukum dari keterpurukan, juga lebih riil, pendekatan yuridis
& sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum masyarakat
yang subtantif.
Beberapa kasus yang dapat diidentifikasi misalnya kasus
pencurian sebuah semangka yang dilakukan oleh orang miskin, dalam pandangan
masyarakat lokal adalah kasus kecil, tidak mestinya diselesaikan melalui proses
hukum positif tertulis.
Ini karena kasus tersebut terlalu mahal biaya sosial
ekonominya jika harus diproses melalui hukum negara baca Kitab Undang Undang
Hukum Pidana, juga pertimbangan kemanfaatan bagi pelaku dan korban serta masa
depan mereka.
Justru penyelesaian melalui proses hukum positif tertulis
yang legalistik - Positivistik justru menunjukkan bentuk praktek ketidakadilan
hukum bagi kelompok masyarakat miskin, terutama mungkin memang karena
keterpaksaan hidup mereka.
Karena pelaku bahkan tidak menyangka perbuatan nya mencuri
satu buah semangka berujung pada tindak pidana.
Karena selama ini, jika ada konflik atau perselisihan antar
warga cukup diselesaikan ditingkat masyarakat dengan semangat kolektivitas dan
komunitas melalui jalan damai dan musyawarah mufakat.
Dalam konteks tertentu, masyarakat lokal masih memandang
kasus seperti ini dinilai tidak adil berdasarkan nilai dan moralitas kolektif
masyarakat lokal, akan tetapi pada konteks yang lain, ada sebagian masyarakat
memandang penggunaan hukum positif tertulis sebagai bentuk pelajaran dan
memberi efek jera kepada pelaku.
Belum lagi kita lupa beberapa hari ini terbaca di media
cetak dan elektronik: dimana seseorang ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana
pembunuhan.
Duduk kasus yang bersangkutan seorang peternak hewan , di
suatu hari melihat seorang pencuri melakukan aksinya untuk mengambil hewan
peliharaan nya.
Dan saat bersamaan pula dipencuri mengetahui tindakan nya
oleh pemilik hewan.
Terjadilah peristiwa yang tak bisa dihindari lagi keduanya
berkelahi, pelaku pencurian membawa senjata tajam sedang pemilik hewan
menggunakan sebuah gunting.
Akhirnya dari peristiwa tersebut di pencuri meninggal akibat
kena senjata gunting tadi.
Oleh kepolisian diproses sesuai dengan hukum positif tertulis
dinyatakan pemilik hewan telah melakukan pembunuhan.
Alasannya kepolisian yang bersangkutan sebenarnya bisa
melarikan diri minta bantuan orang lain jadi tidak menerima alasan membela
diri.
Simpulan dari dua kasus di atas kita menemukan! terjadinya pergeseran
orientasi hukum dalam masyarakat, yakni ketika hukum lokal tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan dan keresahan sosial yang terjadi di tengah
masyarakat atau kontrol sosial masyarakat lokal semakin melemah, maka
penggunaan hukum positif tertulis dapat dibenarkan dengan alasan untuk
pembelajaran dan sebagai instrumen efek jera bagi masyarakat serta untuk
memberi kepastian terhadap tertib sosial masyarakat.
Jadi adanya dualisme hukum yang saling bertentangan, yakni
hukum negara versus hukum lokal atau sosiologis.
Hukum negara lebih berdasarkan pada aturan normatif dan
kepastian, sementara hukum lokal atau sosiologis lebih berdasarkan pada
semangat kolektivitas dan komunalitas masyarakat lokal.
Kondisi yang telah berlangsung lama seperti ini, baru
disadari oleh penegak hukum sekarang yaitu menetapkan sistem Restoratif justice
baik oleh kepolisian ataupun kejaksaan.
Sehingga kasus penetapan pemilik hewan sebagai cerita di
atas jadi pelaku pembunuh dapat diselesaikan secara Restoratif justice tadi.
Karena kasus masih viral di media sosial.***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumsel