Hak Hak Masyarakat Hukum Adat
Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Tulisan
di akhir menjelang tutup tahun 2023 ini, dimaksud untuk mengenang kilas balik
kegiatan Pembina Adat Sumatera Selatan yang akan memasuki usia empat tahun
sejak dilantik Pengurus Pembina Adat Sumatera Selatan yang ketua nya
diamanatkan kepada saya (penulis) di Griya Agung Palembang pada tanggal 29
Desember 2019.
Sudah banyak kegiatan selama empat tahun tersebut baik ditingkat
daerah (Kabupaten dan Kota juga ditingkat nasional misalnya menjadi Nara sumber
lahir Revisi UU Pembentukan Propinsi Sumatera Selatan.
Sekretaris jenderal Lembaga Adat Melayu Sumatera
merencanakan akan melaksanakan silaturahmi di Provinsi Kepulauan Riau.
Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan diminta untuk menjadi
pemateri dengan Thema Hak Hak Masyarakat Hukum Adat khusus berhubungan dengan
Tanah Ulayat.
Masalah yang menyangkut Hak Hak Masyarakat Hukum Adat yang
krusial adalah masalah apakah sudah mempunyai LEGAL STANDING.
Seperti kita ketahui bersama, mempunyai legal standing
adalah merupakan suatu keharusan jika suatu masyarakat hukum adat akan
menggunakan haknya sebagai Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal
51 Undang Undang Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi.
Tahun 1998 setelah reformasi hak hak masyarakat hukum adat
secara berturut turut telah memperoleh pengakuan dan perlindungan yuridis dalam
Pasal 41 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, disusul oleh Undang Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, untuk akhirnya dikukuhkan pada tahun 2000
dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) amendemen kedua Undang Undang
Dasar 1945.
Pengkajian dan penelitian termasuk juga peristiwa peristiwa
yang menyangkut tanah Ulayat adalah peristiwa pulau Rempang di awal bulan
September 23.
Sejak tahun 2004 Komnas HAM menerima banyak pengaduan
sekitar pelanggaran hak asasi masyarakat hukum adat - terutama terhadap hak
atas tanah Ulayat/tanah adat.
Bahkan tidak jarang, amat sering, pelanggaran hak masyarakat
hukum adat yang pada dasarnya bersifat pelanggaran hak ekonomi, sosial dan
budaya tersebut telah melimpah dan berlanjut pada Pelanggaran hak sipil dan
politik masyarakat hukum adat yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia
yang berat (kata sambutan Ketua Komnas HAM pada acara Hari Internasional
Masyarakat Hukum Adat SE Dunia 9 Agustus 2006- himpunan dokumen sekitar
peringatan hari internasional masyarakat hukum adat se dunia, 2007:57).
Di samping hak hak tersebut di atas (tanah Ulayat).
Ada juga persoalan baru hak masyarakat hukum adat berkaitan
dengan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat tentang khusus delik adat ,
yang keberlakuan nya harus dengan aturan hukum positif tertulis (PERDA). Yaitu
akan diberlakukan nya Kitab Undang Undang Hukum Pidana Baru pada tanggal 2
Januari 2026, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
1 tahun 2023.
Bab XXXIV mengatur tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum
Yang Hidup Dalam Masyarakat. Pasal 597
(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang,
diancam dengan pidana.
(2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) huruf f yaitu
pemenuhan kewajiban adat setempat.
Hanya sayang nya ketentuan dimaksud dalam Pasal 597 KUHP
Baru tersebut tidak otomatis diberlakukan di muka persidangan.
Untuk mendapatkan pengakuan sama seperti sebagai pemohon
dalam kasus tanah Ulayat: terlebih dahulu harus melalui jalan panjang yaitu setelah
adanya Peraturan Daerah (PERDA) .
Tentu ini akan membuat persoalan baru lagi.
Kapan dan apakah sudah siap masyarakat untuk memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan tersebut.
Ini yang menjadi tantangan di tahun tahun mendatang.
Mudah mudahan dengan diadakannya silaturahmi pengurus dan
anggota Lembaga Adat Rumpun Melayu yang akan datang direncanakan pertengahan
tahun 2024 dalam mencari solusi yang terbaik untuk masyarakat hukum adat di
Indonesia.
Insyaallah. Aamiin.***
*) Penulis adalah
Ketua Pembina Adat Sumsel